Taqlid secara
bahasa berasal dari akar kata qiladah yaitu kalung yang disematkan. Sedangkan
taqlid menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Said Romadlon al-Buthi
dalam bukunya Alla Madzhabiyyah Akhthoru Bid’atin Tuhaddidus Syari’atil
Islamiyyah adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang
menunjukkan kebenaran pendapat tersebut. Taqlid adalah keniscayaan bagi
orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan dalam berijtihad atau meng-istinbath
hukum baik dari al-Qur’an maupun dari al-Hadits. Sebagaimana firman Allah SWT “Maka
bertanyalah kamu terhadap orang-orang yang ahli ilmu jika kamu tidak mngerti”.
(an-Nahl 43).
Dalam surat yang lain Allah SWT
berfirman “Dan tidak sepatutnya semua orang mu’min berangkat semua (ke medan perang). Hendaknya
ada sekelompok dari tiap golongan dari mereka yang mempelajari ilmu agama, dan
memberikan peringatan kepada mereka ketika mereka kembali kepadanya,
mudah-mudahan mereka takut”. (at-Taubah 122).
Ayat-ayat
tersebut sesuai dengan kesepakatan para ulama adalah dalil atau dasar yang menjelaskan
tentang kewajiban orang awam untuk bertaqlid (mengikuti pendapat mujtahid). Hal
ini wajar, karena tidak setiap orang mempunyai kesempatan dan kemampuan dalam
mempelajari agama secara mendalam. Bahkan taqlid tidak hanya terbatas pada
orang awam saja, orang-orang alim yang sudah mengetahui dalilpun masih harus
taqlid, selama mereka belum sampai pada derajat mujtahid. Sebab pengetahuan
mereka hanya sebatas dalil yang digunakan, tidak sampai kepada proses, metode
dan seluk beluk dalam menentukan suatu hukum. Jadi taqlid adalah
keniscayaan, merupakan sunnatullah yang tak terbantahkan dan tidak mungkin akan
terhapuskan. Yang tidak tahu mengikuti yang tahu, yang tahu mengikuti
yang lebih tahu, hal ini adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan.
Namun meskipun demikian, bukan berarti umat Islam harus terperangkap pada taqlid
buta, yang menerima pendapat mentah-mentah tanpa mengerti dan berusaha
untuk mengetahui dalilnya. Karena hanya akan menjadi gambaran keterbelakangan
dan rendahnya kwalitas individu umat Islam.
Menurut
pendapat asy-Syaukani berdasarkan kandungan ayat al-Qur’an, “…. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah dan Rasulnya (al-Qur’an dan Hadits)”. (QS. An-Nisa’ 59). Bahwa Allah
tidak memerintahkan agar kembali kepada pendapat seseorang dalam masalah agama,
tetapi agar kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Artinya dengan tegas Allah
SWT menyuruh seseorang agar dapat memetik kandungan al-Qur’an dan al-Hadits
dengan cara melakukan istinbath. Akan tetapi, jika ada suatu
permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya didalam al-Qur’an dan al-Hadits,
maka ia harus melakukan ijtihad. Bagi yang belum mencapai derajat
mujtahid, maka ia tidak boleh hanya bertaqlid terhadap pendapat mujtahid,
melainkan juga harus meminta keterangan dan dalil-dalil berupa al-Qur’an dan
al-Hadits dari fatwa yang telah dikeluarkannya. Cara ini telah di peraktikkan
oleh masyarakat awam pada masa sahabat dan tabi’in. (Konsep Ijtihad
asy-Syaukani. Nasrun Rusli)
Pendapat ini senada
dengan pendapat para pengikut imam madzhab, bahwa masyarakat awam harus
mengikuti pendapat salah seorang dari imam-imam madzhab atau mujtahid.
Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat
an-Nahl 43, “Maka bertanyalah kamu terhadap orang-orang yang ahli ilmu jika
kamu tidak mngerti”. Sebab menurut mereka, orang yang tidak memiliki
pengetahuan dan kemampuan yang mumpuni di bidang agama, mustahil dapat
melakukan ijtihad, dan jika tetap dipaksa harus melakukan ijtihad, maka akan
terjadi kekacauan hukum dalam masyarakat atau dapat mengakibatkan terbengkalainya
berbagai sektor kehidupan, karena setiap orang sibuk mempersiapkan diri dalam
melakukan ijtihad. Begitu juga sebaliknya. “Dan tidak sepatutnya semua orang
mu’min berangkat semua (ke medan
perang). Hendaknya ada sekelompok dari tiap golongan dari mereka yang
mempelajari ilmu agama, dan memberikan peringatan kepada mereka ketika mereka
kembali kepadanya, mudah-mudahan mereka takut”. (at-Taubah 122). Keniscayaan
taqlid ini, setidaknya terjadi pada seseorang yang ketika awal melaksanakan
bagian dari agama Islam. Seperti bersedekap didalam sholat, mengangkat tangan
ketika takbirotul ihram, ia tentu melakukannya tanpa tahu dan meneliti dalilnya
terlebih dahulu. Jika di kemudian hari ia tahu dalilnya, maka berarti ia telah
keluar dari taqlid buta. Meskipun demikian ia masih tetap menyandang
status sebagai seorang muqollid.
Dengan
demikian, dapat di fahami bahwa Ijtihad hanya di wajibkan atas seseorang yang
memiliki kualifikasi dan kapabilitas keilmuan untuk melakukan istinbath.
Sedangkan bagi masyarakat awam kewajiban berijtihad ini gugur, dan mereka harus
bertaqlid (mengikuti) pendapat salah seorang dari imam-imam madzhab, lalu
secara bertahab mereka harus berusaha mencari atau menanyakan dalil-dalil yang
di jadikan dasar atas fatwa hukum yang di keluarkan mujtahid tersebut, agar
tidak terjebak dalam taqlid buta. Karena taqlid buta itu tercela.
Sedangkan taqlidnya orang alim (orang yang tahu dalil) yang belum sampai pada
tingkatan mujtahid adalah hal yang terpuji dan di anjurkan, karena hal ini
tentu lebih baik dan terpuji daripada harus memaksakan diri berijtihad padahal
masih belum memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar