Memahami Hakikat Dzikir
ingatlah kepada-Ku niscaya Aku ingat kepadamu.”(QS. al-Baqarah ayat
152). Ayat itu mengingatkan kita bahwa dalam setiap tarikan nafas dan kesadaran
manusia seyogyanya selalu menempatkan Allah sebagai pelabuhan terakhir. Berarti
manusia dapat mengingat Allah di mana saja dan kapan saja selama ia masih
berada di atas bumi-Nya.
Kita pun sering melihat bermacam-macam ekspresi manusia dalam
mengingat Allah; menangis, berdiam diri, menyanyi, menari, dan berkata-kata. Dalam
konteks ini umat Islam tidak pernah lepas dari tiga hal; “doa”
(permintaan kepada Allah); “wirid” (bacaan tertentu untuk mendapatkan ‘aliran’
dari Allah); dan “zikir”, yaitu segala gerak gerik dan aktivitas yang berobsesi
taqarrub kepada Allah. Termasuk juga zikir adalah me lafadz kan kata-kata tertentu.
Zikir sangat penting karena ia merupakan langkah pertama tapakan
cinta kepada Allah. Zikir merupakan bentuk komitmen dan kontinuitas
untuk meninggalkan segala hal yang berbentuk kelupaan kepada Allah dan memasuki
wilayah musyahadah (persaksian), mengalahkan rasa takut bersamaan dengan
rasa kecintaan yang mendalam. Zikir dapat dimaknai juga dengan ‘berlindung
kepada Allah.’ Atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa zikir itu mengingat
Allah yang dapat dilakukan dengan diam-diam atau bersuara.
Zikir itu ada dua macam; pertama,
- zikr bi
al-lisan, yaitu mengucapkan lafadz-lafadz (redaksi) yang dapat
menggerakkan hati untuk mengingat Allah. Zikir dengan pola ini
dapat dilakukan pada saat-saat tertentu dan tempat tertentu pula.
Misalnya, berzikir di mesjid pada saat selepas salat. Kedua,
- zikr bi al-qalb,
yaitu
keterjagaan hati untuk selalu mengingat Allah. Zikir ini dapat dilakukan
di mana saja dan kapan saja. Jadi tidak ada pembatasan ruang dan waktu.
Pelaku sufi lebih mengistimewakan zikr bil-qalb karena
implikasinya yang hakiki. Meskipun demikian, zakir (seseorang
yang berzikir) dapat mencapai kesempurnaan apabila ia mampu berzikir
dengan lisan sekaligus dengan hatinya. Meskipun secara global terdapat
dua kutub zikir, namun dalam realitasnya terdapat tujuh jenis zikir, Yaitu zikr
bi al-lisan (pengucapan dan bersuara), zikr al-nafs (tanpa suara dan
terdiri atas gerak dan rasa di dalam), zikr al-qalb (perenungan
hati), zikr al-ruh (tembus cahaya dan sifat-sifat ilahiah), zikr
al-sirr (penyingkapan rahasia ilahi), zikr al-khafy (penglihatan
cahaya keindahan), dan zikr akhfa’ al-khafy (penglihatan realitas kebenaran
Yang Mutlak).
Pada tahap awal pengucapan zikir memang terasa sebatas lisan.
Meskipun demikian hal ini bukanlah sesuatu yang buruk. Hanya saja
seseorang perlu meningkatkan kualitas zikirnya hingga benar-benar
mengantarkannya pada kondisi persaksian atas kesucian dan keagungan Allah.
Kontinuitas zikir mampu membawa manusia pada satu tahapan dimana persaksian
terhadap Allah memenuhi wilayah qalb (hati). Pada tahap ini zikir tidak
lagi berada di wilayah kesadaran namun juga masuk dalam wilayah
ketidaksadaran. Sehingga proses zikir pun berjalan di kala terjaga,
tidur, pingsan, mati suri, bahkan sakaratul maut.Sebagaimana di singgung di atas
bahwa orientasi zikir adalah penataan qalb. Qalb memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia karena baik buruk aktivitas manusia
sangat bergantung kepada kondisi qalb.
Sumber. NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar